Wednesday, November 20, 2013

Mengenal Wanita dalam buku “Sarinah”: Mengulas Ide dan Pemikiran Cemerlang Dr. Ir. Soekarno

 Sinopsis :
“Permasalahan kaum wanita yang diangkat pada buku Sarinah yang ditulis oleh DR. Ir. Soekarno pada tahun 1947 ini ternyata masih relevan pada saat ini, misalnya masalah gender, hubungan suami istri, masalah keterlibatan wanita dalam politik, sosial, budaya, dan sebagainya.
Soekarno berupaya mengagungkan serta mengangkat harkat dan martabat wanita Indonesia, namun berbeda dengan emansipasi wanita sebagaimana yang telah terjadi pada wanita-wanita barat (Eropa). Mungkin Soekarno tidak menyangka jika saat ini di Indonesia para wanita sudah demikian maju, ada yang menjadi gubernur, kapolda, menteri, bahkan Presiden (yakni Megawati Soekarnoputri yang nota bene putri beliau sendiri).
Ide dan pemikiran cemerlang Bung Karno tentang wanita dalam buku “”Sarinah”" tersebut diulas dalam buku ini Drs. Djayadi, M.T.
Buku ini juga banyak berisi kata-kata bijak tentang wanita, memotivasi kita khususnya para wanita untuk maju, tanpa harus meninggalkan jati diri kita sebagai wanita yang berbudaya Indonesia. Dan benarkah wanita Jepang adalah seorang istri yang setia? Lalu siapakah sebenarnya Sarinah itu? Dapatkan jawabannya dalam buku ini.”



Judul Buku : Mengenal Wanita dalam buku “Sarinah”: Mengulas Ide dan Pemikiran Cemerlang Dr. Ir.                              Soekarno
Penulis : Drs. Dyayadi, M.T
Penerbit : Qiyas
Editor : Tim Qiyas Media
Desain Cover : Kotak Hitam Studio
Cetakan : Pertama, 2011
ISBN : 978-979-19335-4-4
Ukuran  : 14 X 20 cm
Halaman  : xii + 159 hlm
Kategori   : Biografi/ Tokoh

Sumber : diandrabooks.wordpress.com

Monday, April 29, 2013

Bung Karno Dan Pemahaman Soal Massa Aksi

Revolusi, kata Bung Karno, adalah lokomotif sejarah. Tetapi revolusi, yakni menjebol yang lama dan membangun yang baru, tidak semudah membalik telapak tangan. Revolusi tidak datang hanya karena kita berteriak-teriak “Revolusi..revolusi..revolusi sampai mati.”

Revolusi juga bukan bikinan manusia. Bukan pula bikinan para penghasut. Juga, seperti dikatakan Tan Malaka, revolusi bukan bikinan “tukang-tukang putch”. Revolusi, seperti diyakini Bung Karno dan Tan Malaka, adalah hasil pergaulan hidup atau pertentangan antara sistem sosial yang nyaris sekarat dengan yang baru.

Pada titik inilah kita memulai pembahasan soal ‘massa aksi’. Sebab, revolusi baru akan terjadi jikalau pertentangan antara hubungan produksi lama dengan yang baru, yang tercermin dalam perjuangan klas, sudah menggerakkan massa-rakyat. Inilah point pentingnya: hanya massa rakyat yang sadar akan tugas revolusinya yang bisa membuat revolusi.

Sekilas Tentang Massa aksi

Apa itu massa aksi? Saya sulit mendapatkan referensi mengenai asal-muasal kata “Massa Aksi” ini. Dalam penulusuran Wikipedia, saya hanya menemukan kata “Mass Action” sebagai kata dalam ilmu sosiologi. Itupun kalau diterjemahkan begini: “keadaan dimana sejumlah besar orang bertindak secara bersamaan/serempak dengan cara yang sama tetapi secara individual dan tanpa koordinasi.”

Saya rasa, mass action versi Inggris itu tekanannya pada spontanitas. Sedangkan Soekarno menekankan pada “terorganisasi” dan dilakukan secara sadar. Jadi, saya kira, mass action dalam bahasa Inggris itu beda dengan massa aksi-nya Bung Karno.

Dalam literatur Indonesia, massa aksi sangat dekat dengan Tan Malaka. Pada tahun 1926, begawan revolusi Indonesia itu menulis brosur “Massa Actie (Aksi Massa)”. Dan, setelah saya baca dari awal hingga akhir, kelihatannya karya itu sangat mempengaruhi pemikiran Bung Karno. Termasuk mengenai soal “Massa Aksi” ini.

Di tulisan itu Tan Malaka menjelaskan, hannya “satu aksi massa”, yakni satu aksi massa yang terencana, yang akan memperoleh kemenangan di satu negeri yang berindustri seperti Indonesia. Di sini, Tan Malaka membedakan “Massa Aksi” dengan Tukang Putch (anarkis) dan petualang (advonturir).

Bagi Tan Malaka, massa aksi berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka. Aksi massa terwujud dalam boikot, mogok, dan demonstrasi. Tan Malaka, seperti juga Soekarno, tak menampik kehadiran “pemimpin massa”. Akan tetapi, pemimpin massa ini harus revolusioner, cerdas, tangkas, sabar dan pandai menghitung keadaan. Ia juga harus mengerti tabiat dan psikologi massanya. Juga, tak kalah pentingnya, pemimpin massa itu harus pandai bersemboyan agar bisa mengubah “kemauan massa” menjadi “tindakan massa”.

Kata “Masa Aksi” mulai ramai di tulisan Bung Karno di tahun 1929. Tapi, jika kita mengacu pada garis-massanya PNI, maka bisa saja Bung Karno itu sudah mengusung “massa aksi” jauh sebelumnya. Yang jelas, tulisan-tulisan Bung Karno sejak tahun 1929 sangat banyak dipengaruhi Tan Malaka.

Tetapi, bisa saja “massa aksi” itu didapat Bung Karno dari pengalaman gerakan sosial-demokrat di Eropa. Sebab, seperti dalam pidato “Indonesia Menggugat”, ia merujukkan penjelasan massa aksi itu dari pengalaman SDAP-Sociaal Democratische Arbeiders Partij (Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda).

Massa aksi diuraikan dengan gamblang oleh Bung Karno dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan kolonial. Pidato itu disebut “Indonesia Menggugat”. Di situ ia banyak membahas soal “massa aksi”. Tulisan lainnya adalah: Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia (Suluh Indonesia Muda, 1932), Non Koperasi Tidak Bisa Mendatangkan Massa Aksi dan Machtvorming (Fikiran Rajat, 1932-33), dan Mencapai Indonesia Merdeka (1933).

Apa itu massa aksi?

Dalam tulisan Indonesia Menggugat, Bung Karno merujuk kata “massa aksi” itu dari pengalaman SDAP-Belanda. Yang menarik, bagi Bung Karno, SDAP berhasil menggerakkan massa rakyat Belanda dalam menuntut “hak pilih” dalam pemilu.

Massa aksi yang demikian itu, kata Bung Karno, yang sangat diidam-idamkan oleh PNI: massa aksi yang hebat dan maha-kuasa, yang menggerakkan seluruh tubuh rakyat dan mengelektrifikasi sekujur tubuh bangsa. Pendek kata, sebuah massa aksi yang bergelombang menuju ke arah tujuannya.

Tapi, apa “massa aksi” itu? apakah jika rakyat beribu-ribu, bahkan mungkin beratus ribu, menggelar demonstrasi bisa dikatakan massa aksi? Bagi Bung Karno, massa aksi memang identik dengan aksinya rakyat banyak. Aksi sendiri bermakna perbuatan, pergerakan, dan perjuangan. Perbuatan itu berupa: rapat umum, demonstrasi, menulis artikel, kursus, dan lain-lain.

Tetapi pengertian di atas belum cukup. Menurut Bung Karno, yang di atas itu masih disebut “massale actie”, yaitu: ‘pergerakan’ rakyat yang berjumlah ribuah, bahkan mungkin jutaan, tetapi tidak radikal dan revolusioner. “Massale actie” tidak membongkar struktur masyarakat lama dan menggantikan yang baru.

Bung Karno menyebut Sarekat Islam (SI) sebagai contoh massale actie. Anggotanya banyak tetapi tidak radikal dan revolusioner. SI memang organisasi massa terbesar di masanya. Pada tahun 1916, organisasi yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto sudah punya 800 cabang dan 700 ribu anggota. SI berhasil menghimpun kaum buruh, marhaen, priayi, pedagang, dan borjuis ke dalam organisasinya.

Namun, seperti dikatakan Bung Karno, anggota SI yang besar itu hanya “massale actie” belaka. Soekarno menganggapnya “gerombolan” dan tak ubahnya “perkumpulan arisan” (social behoudend). Kenapa? Sebab, kata Bung Karno, pergerakan SI tidak berdiri di atas pendirian radikal, tidak berdiri di atas pertentangan sana dan sini (antara kawan dan lawan dalam revolusi), dan tidak terang-terangan ingin menjebol susunan masyarakat lama, yaitu kapitalisme.

Setidaknya ada tiga prasyarat untuk disebut organisasi “massa aksi”:

Pertama, organisasi yang menghimpun massa itu harus berpendirian radikal. Radikal di sini diartikan sebagai perjuangan yang ingin membongkar susunan masyarakat lama dan membangun susunan masyarakat baru. Politik radikal ini tercermin dalam program, azaz, dan taktik perjuangan.

Karena itu, bagi Bung Karno, organisasi massa aksi harus melakukan pertempuran terus-menerus, tanpa kompromi, dengan kekuatan-kekuatan yang menghalangi perubahan dalam susunan masyarakat. Organisasi “massa aksi” harus terang-terangan menolak politik reformisme.

Kedua, organisasi massa aksi harus bisa menggembleng massa yang tidak sadar (onbewust) menjadi massa yang sadar (bewust). Konstruksi (perspektif) revolusi harus diajarkan kepada massa dengan pengertian sederhana. Dan, pada sebuah titik, hal itu masuk dalam fikiran dan semangatnya.

Untuk itu, organisasi massa aksi harus punya teori perjuangan sebagai panduan untuk memimpin aksi perjuangan. Massa aksi harus dibimbing oleh teori. Tidak ada praktek revolusioner tanpa teori revolusioner.

Teori itu harus diresapkan ke massa melalui kursus, terbitan/brosur, dan aksi. Kata Bung Karno, massa aksi tanpa kursus, brosur, dan surat-kabar, adalah massa aksi yang tak hidup dan tak bernyawa. Sebab, massa tidak memahami seluk-beluk perjuangan dan ke arah mana perjuangan itu mau bertepi.

Ketiga, organisasi massa aksi harus mengubah “kemauan massa” menjadi “tindakan massa”. Artinya, organisasi massa harus bisa mengubah “kesadaran spontan atau naif” menjadi kesadaran politik-radikal.

Bung Karno, seperti juga kebanyakan kaum marxis, menganjurkan agar kaum revolusioner terlibat dalam perjuangan sosial-ekonomi dan mengarahkannya menjadi perjuangan politik yang dipandu oleh marxisme.

Bagi Bung Karno, politik radikal tidaklah menegasikan perjuangan sosial-ekonomi (sehari-hari). Katanya, kemenangan yang besar biasanya diusung dari perjuangan kecil-kecil. Bung Karno menyebut a-b-c-nya aksi radikal: perlawanan kecil sebagai momen perlawanan besar; perlawanan kecil sebagai mata-rantai perjuangan besar.

Yang paling penting, kata Bung Karno, kesadaran maju (termasuk sosialisme) tumbuh dan diasah terus-menerus dari praktek perjuangan ekonomi dan politik. Bukan melalui impor atau penyuntikan teori-teori sosialis belaka.

Lantas, apa bedanya politik radikal dan politik reformisme dalam lapangan perjuangan sosial-ekonomi (sehari-hari)? Jawabannya sederhana: politik radikal menggunakan perjuangan sosial-ekonomi itu untuk menyuluhi massa, sambil berjuang bersama massa, agar bergerak pada tuntutan radikal. Sedangkan reformisme berhenti atau hanya berkubang pada perjuangan sosial-ekonomi itu sendiri.

Itulah pemahaman Bung Karno tentang massa aksi. Jadi, massa aksi bukanlah sekedar massa yang berjumlah besar, bukan pula massa yang membawa bom dan dinamit, tetapi massa yang berpendirian radikal, dipandu teori-teori revolusioner, dan siap melakukan perjuangan tak kenal menyerah untuk menggulingkan susunan masyarakat lama menjadi susunan masyarakat baru.

Kusno, Kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Soekarno Dan Para Buruh

Bung Karno, Arsitek - Seniman

PENDIDIKAN kesarjanaan Bung Karno sebetulnya adalah Teknik Sipil, yang diraihnya di Institut Teknologi Bandung. Namun, perhatiannya terhadap dunia perancangan arsitektur sungguh luar biasa. Pandangannya sangat jauh ke depan, lebih jauh ketimbang tokoh-tokoh lain pada zamannya. Banyak sekali karya arsitektur di Jakarta yang sekarang menjadi kebanggaan bangsa, sebagai tetenger atau landmark, yang bersumber dari gagasan-gagasannya yang brilyan. Memang, bukan Bung Karno sendiri secara pribadi yang merancang, tetapi cetusan idenya yang orisinal dan otentik itulah yang menjadi jiwa atau semangat dari karya-karya arsitektur yang bermunculan. Siapa yang tidak kenal dan tidak kagum dengan Monas atau Monumen Nasional, yang sudah menjadi trademark dan landmark-nya Jakarta, bahkan bisa disebut sebagai tetenger-nya Indonesia. Mirip seperti Eiffel-nya Kota Paris (Perancis), Patung Liberty-nya New York (Amerika Serikat), atau Open House-nya Sydney (Australia).

Sampai saat ini, Monas dan lingkungan atau ruang terbuka di sekitarnya masih juga terlihat sebagai kawasan yang amat bermartabat, menumbuhkan rasa bangga sebagai warga (civic pride). Sebagai suatu ruang publik yang dapat dinikmati oleh segenap warga kota maupun pendatang, menyiratkan suasana demokrasi dan keterbukaan. Monas dengan Lapangan Merdekanya yang luas dapat disebut sebagai oase, bahkan mungkin malah surganya kota, mengacu pada pendapat seorang pakar bahwa park is urban paradise.


Arsitek-seniman

Sepanjang pengetahuan saya, Bung Karno adalah seorang insinyur sipil yang memiliki jiwa arsitek dan seni budaya dengan kadar yang tinggi. Bahkan bisa dikatakan lebih arsitek ketimbang arsitek yang sesungguhnya. Sangat jarang pimpinan negara yang memiliki perhatian besar pada dunia arsitektur. Boleh saja George Pompidou dari Perancis bangga dengan Pompidou Center-nya di Kota Paris, yang dikenal sebagai salah satu karya arsitektur berciri Post-Modern.

Namun, ditilik dari keberagaman karya yang digagas oleh Bung Karno, tampak jelas bahwa Bung Karno jauh lebih unggul sebagai negarawan yang juga arsitek dan seniman sekaligus. Bukan hanya karya arsitektur yang berupa gedung-gedung atau monumen-monumen saja yang menjadi bidang gulat dan perhatiannya. Patung-patung, taman-taman, kawasan, bahkan sampai-sampai skala kota pun digagas dan direalisasikan.

Patung Pembebasan Irian Ja-ya, Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Patung Pancoran, Patung Pak Tani di Menteng dan lain-lain, semua itu dibangun pada zaman Presiden Soekarno. Dari kacamata perkotaan, kehadiran patung-patung yang beraneka ragam itu betul-betul menyiratkan keindahan kota sebagai suatu karya seni sosial (a social work of art). Bisa menjadi titik referensi agar kita tahu sedang ada di mana, supaya tidak kehilangan arah.

Taman Merdeka di seputar Monas dan kawasan pusat olahraga dengan ruang terbuka yang begitu luas di Senayan, merupakan warisan Bung Karno yang layak kita syukuri bersama. Dalam skala yang lebih makro, sebagai seorang presiden yang berwawasan nasional, tidak berpikir sempit, memikirkan kemungkinan memindahkan ibu kota negara kita dari Jakarta ke luar Jawa. Kalau tidak salah lokasi Palangkaraya di Kalimantan Tengah yang dipilih sebagai salah satu alternatif, dan kemudian mulai dirancang serta terus dibangun. Sayang sekali, karena berbagai kendala gagasan terobosan yang inovatif itu tidak terlaksana. Kendati begitu, toh, Kota Palangkaraya ternyata berkembang dengan baik sampai sekarang.

Senang sayembara

Yang tidak kalah menarik dari Bung Karno dalam kiprahnya sebagai seorang arsitek adalah bahwa beliau sangat senang dengan karya-karya unggulan yang dihasilkan melalui sayembara.

Monas yang terbangun sekarang pun semula adalah hasil sayembara. Menurut tokoh arsitek senior Prof Ir Sidharta, pemenang pertamanya dulu tidak ada, pemenang kedua adalah arsitek Friedrich Silaban (sudah almarhum) dan pemenang ketiga adalah tim mahasiswa dari ITB. Rancangan yang memenangkan sayembara tersebut kemudian dikolaborasi oleh tim arsitek Istana (kalau tidak salah di bawah pimpinan Soedarsono) dengan beberapa perubahan sehingga terbangun seperti yang tampak sekarang ini.

Prinsip bahwa karya terbaiklah yang dipilih dan disetujui untuk dibangun, antara lain melalui proses sayembara, merupakan suatu prinsip yang dewasa ini banyak ditinggalkan oleh para pejabat. Tidak heran bila yang banyak bermunculan di kota-kota besar di Indonesia adalah bangunan-bangunan yang termasuk kategori junk architecture atau arsitektur sampah. Orang-orang itu lupa bahwa kaidah paling dasar dari suatu karya arsitektur masih tetap saja seperti yang dicanangkan Vitruvius ratusan tahun yang silam, yaitu utilitas (fungsi atau kegunaan), firmitas (konstruksi atau kekokohan), dan venustas (estetika atau keindahan). Nah, aspek terakhir yang menyangkut estetika atau keindahan itulah yang tak pernah dilupakan oleh Bung Karno.

Begitu pula ketika muncul gagasan Bung Karno untuk menyelenggarakan Conference of the New Emerging Forces (Conefo) lantas dirancang gedung pertemuan yang sekarang menjadi Gedung MPR/DPR, dengan perancang dan pembangun antara lain Ir Sutami, Ir Soejoedi, dan Ir Nurpontjo.

Dari kisah itu terlihat bahwa gagasan dan pemikiran Bung Karno sejak dulu sudah mengglobal. Globalisasi baginya bukan sekadar slogan kosong, melainkan sudah diaktualisasikan dalam kiprahnya sehari-hari.

Tak berpikir sempit

Mengenai perencanaan atau arsitek yang dipilihnya, asal memang kompeten, tak peduli dari mana asalnya atau apa agamanya, selalu ada peluang dia pilih untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya dalam wujud nyata. Manakala Friedrich Silaban terpilih untuk merancang Gedung Pola, barangkali bukanlah berita. Tetapi, kalau Silaban yang sama, notabene seorang Kristen, terpilih untuk merancang Masjid Istiqlal kebanggaan kita semua, bukankah itu merupakan berita yang mestinya mengejutkan?

Gedung Hotel Indonesia sebagai gedung jangkung pertama di Kota Jakarta, saya dengar dirancang oleh Sorensen, seorang arsitek Swedia. Patung Tani di Menteng juga bukan karya seorang pribumi melainkan karya pematung mancanegara. Artinya, Bung Karno bukanlah tokoh yang primordial, chauvinistic berpikir sempit, melainkan sebaliknya. Dan, yang tidak kalah membanggakan adalah bahwa pemikiran dan gagasannya pun dipakai juga di mancanegara.

Ketika saya menunaikan ibadah haji pada tahun 1996, saya memperoleh informasi bahwa bangunan dua lantai tempat para jemaah haji melakukan sai (berjalan dan berlari dari bukit Safa ke Bukit Marwah pulang-pergi) dibangun atas saran Bung Karno. Semula bangunannya tidak bertingkat. Begitu jemaahnya setiap tahun bertambah, semakin berjubel padat, akibatnya sangat menyulitkan dan menyengsarakan bagi para jemaah. Usulan Bung Karno sebagai seorang insinyur sipil sungguh sangat tepat untuk mengatasi kesumpekan itu.

Dalam suasana hiruk-pikuk perpolitikan yang penuh dengan manuver-manuver pertarungan kekuasaan yang amat keji dan mencekam seperti yang kita lihat dan kita rasakan akhir-akhir ini, sungguh amat kita rindukan tokoh negarawan seperti Bung Karno. Pemimpin negara yang tidak hanya tinggi kadar nasionalismenya, tetapi juga memiliki jiwa sebagai arsitek dan seniman yang berbudaya, menciptakan karya-karya nyata yang bermanfaat bagi bangsa.

* Eko Budihardjo Ketua Dewan Pembina Persatuan Sarjana Arsitektur Indonesia dan Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia Cabang Jawa Tengah

Soekarno



Sumber: Kompas, 1 Juni 2001

Bung Karno Dan Pengertian Marhaen

Anda sering dengar kata “Marhaen”? Ya, kata “Marhaen” memang tak asing lagi di telinga orang-orang Indonesia. Kita sering menemukan kata Marhaen dalam buku-buku sejarah dan politik di Indonesia. Selain itu, ada sejumlah gerakan politik, baik partai maupun organisasi massa, yang gandrung menggunakan kata “marhaen”.

Kata marhaen sudah dipergunakan secara luas. Media massa mainstream sering menggunakan kata “marhaen” merujuk pada petani. Ada juga yang mempersamakan marhaen dengan “wong cilik”. Sedangkan beberapa pihak lain menyebut kata Marhaen sinonim dengan kata “Proletar”.

Yang terjadi, seakan-akan istilah marhaen ini tidak punya defenisi ketat. Akhirnya, penggunaannya pun bisa sangat bebas. Saya kira, marhaen adalah sebuah istilah yang punya kategori-kategori tertentu. Dengan begitu, ia tidak bisa dipergunakan secara bebas.

Asal usul kata Marhaen

Kata Marhaen merujuk pada Bung Karno. Penuturan sejarah menyebutkan, Bung Karno-lah yang menemukan perkataan ini pertama kali. Dia pula yang paling berkontribusi mengangkat istilah ini masuk dalam gelanggang politik.

Baiklah, kita lihat akar historisnya. Dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno mengatakan, ia menemukan istilah marhaen pada usia 20 tahun. Artinya, itu terjadi kira-kira tahun 1921.

Alkisah, Soekarno sudah lama merenungi, atau lebih tepatnya berusaha memahami, tentang klas-klas dalam masyarakat Indonesia. Saat itu, Ia sedang bergumul dengan persoalan-persoalan teoritik. Akhirnya, pada suatu pagi, Bung Karno memilih mendayung sepeda tanpa tujuan. Mungkin sekedar “jalan-jalan”.

Saat itu, Bung Karno tinggal di kota Bandung. Nah, ia sedang jalan-jalan ke bagian selatan kota nan cantik itu. Nah, sesuai penuturan Bung Karno, Bandung selatan itu dikenal sebagai kawasan pertanian. Tiap-tiap petani mengerjakan sawahnya sendiri. Luasnya tidak melebihi dari sepertiga hektar.

Ini menarik perhatian Bung Karno. Ia mendatangi salah seorang dari petani itu. Terjadilah dialog dengan menggunakan bahasa Sunda. Pendek kata, dari dialog itu Soekarno menyimpulkan: petani itu mengerjakan sawah sendiri (warisan orang tua), menggunakan perkakas kerja sendiri, hasilnya hanya untuk menghidupi diri sendiri atau keluarga sendiri (tidak ada kelebihan untuk dijual), tidak mempekerjakan tenaga orang lain, dan punya rumah berbentuk gubuk yang dipunyai sendiri.

Nama petani itu adalah Marhaen. Sama seperti nama Jones atau Smith di Eropa, kata Bung Karno. Di situlah Bung Karno menemukan ilham (petunjuk): menggunakan nama Marhaen untuk menamai semua orang Indonesia yang senasib dengan petani bernama Marhaen itu.

Perlu diingat, Soekarno saat itu sudah aktif di pergerakan. Di Bandung, ia menjadi bagian dari kelompok diskusi “Algemene Studie Club”. Sejak itu, Soekarno mulai menggunakan istilah Marhaen dalam diskursus klas atau susunan sosial masyarakat Indonesia.

Tetapi istilah itu tidak sempit merujuk ke petani saja. Masih di buku yang sama, Bung Karno juga menyebut “tukang gerobak” sebagai marhaen. Sebab, si tukang gerobak punya alat produksi, tetapi tidak menyewa pembantu (tenaga kerja) dan tidak punya majikan.

Inilah dasar dari penemuan ajaran Bung Karno: Marhaenisme. Ia mengatakan, marhaenisme merupakan lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional bangsa Indonesia. Atau, istilah lainnya, teori yang disusun sesuai konteks historis dan kekhususan masyarakat Indonesia.

Defenisi Marhaen

Istilah Marhaen tidaklah jatuh dari langit sebagai sebuah ilham. Ia merupakan hasil pergumulan teoritis dan observasi. Dan, saya kira, teori ini terus mengalami pengembangan dan penyimpulan-penyimpulan.

Sekarang, kita ke pertanyaan: apa itu “Marhaen”?

Di atas kita sudah menemukan kategori-kategori marhaen: pertama, ia merupakan pemilik produksi kecil. Kedua, ia tidak menyewa atau mempekerjajakan orang lain. Alat produksi itu dikerjakan dengan tenaga sendiri (plus keluarga). Ketiga, ia tidak punya majikan. Keempat, hasil produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan keluarganya. Kadang hasil produksinya pas-pasan.

Singkat kata, Bung Karno mendefenisikan Marhaen sebagai berikut: seorang marhaen adalah seorang yang mempunyai alat produksi kecil; seorang kecil dengan alat produksi kecil, dengan alat-alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri.

Dalam terminologi marxis, ini mungkin sepadan dengan istilah “borjuis kecil”. Namun, Soekarno memberi penekanan pada istilah marhaen ini dengan perkataan “kaum melarat Indonesia”. Artinya, meskipun ia pemilik produksi kecil—mungkin mirip dengan borjuis kecil—tetapi ia hidup sangat melarat.

Dengan demikian, istilah marhaen mencakup petani kecil, pedagang kecil, pemilik usaha kecil, dan lain-lain.

Dalam perkembangannya, Soekarno mulai memasukkan proletar sebagai bagian dari Marhaen Indonesia. Pada tahun 1960-an, Soekarno menyebut kaum Marhaen itu terdiri dari tiga unsur: unsur kaum miskin proletar Indonesia (buruh), unsur kaum tani melarat Indonesia, dan unsur kaum melarat Indonesia lainnya.

Saya kira, pengembangan ini tak lebih dari sebuah kebutuhan politik saat itu, yakni menyatukan seluruh kaum tertindas Indonesia ke dalam sebuah persatuan revolusioner atau sering disebut “sammenbundeling van alle revolutionaire krachten”.

Dasar Teoritis

Menurut bung Karno, istilah proletar—yang populer di Eropa—tidak tepat untuk menjelaskan kategori-kategori yang disebut marhaen itu. sebab, bagi Soekarno, istilah proletar sudah jelas: orang yang tidak punya hasil produksi dan, karena itu, menjual tenaga kerjanya pada orang lain/majikan. Dan ia menerima upah dari menjual tenaga kerjanya itu. Berbeda kan?

Nah, di era Bung Karno itu, proletar memang sudah ada. Soekarno juga mengakui hal itu. Hanya saja, bagi Soekarno, bagian terbesar dari kaum tertindas Indonesia bukan proletar, melainkan yang masuk kategori Marhaen itu.

Kenapa bisa demikian?

Ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme di Indonesia. Kata Soekarno, kapitalisme di Indonesia itu, yang dibawa oleh kolonialisme Belanda, punya kekhususan. Apa kekhususannya?

Ketika Belanda hendak menancapkan kuku-kuku kolonialismenya di Indonesia, negeri kincir angin itu masihlah terbelakang. Tan Malaka menyebutnya “negeri tani dan tukang warung kopi yang kecil-kecil.” Jadi, belanda sendiri belum merupakan negara industrialis saat itu. Sangat berbeda dengan Inggris, misalnya, yang sudah berkembang pesat sejak mengalami revolusi industri.

Kolonialisme ala Belanda ini membawa dampak. Belanda datang ke Indonesia berlagak bak saudagar. Apa yang terjadi? untuk memaksakan monopolinya di Indonesia, VOC melakukan pemaksaan dan perampasan. Mirip dengan akumulasi primitif dalam masyarakat pra–kapitalis. Merampas barang dagangan—khususnya rempah-rempah–dan kemudian di jual di pasar internasional.

Di jaman cultural stelsel tetap saja begitu. Hanya saja, di sini kapitalis Belanda sudah mulai menanamkan modalnya di Indonesia. Itulah mengapa Bung Karno menyebut imperialisme Belanda itu sebagai “finance-capital”.

Namun, sebagian besar kapital itu jatuhnya di sektor pertanian/perkebunan. Sebagian besar kapital Belanda itu—hampir 75%, kata Soekarno—hanya menghasilkan onderneming-onderneming: onderneming teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya. Di Hindia-Belanda (Indonesia), kata Soekarno, yang dominan adalah kapitalisme pertanian.

Perkembangan kapitalisme yang demikian, kata Bung Karno, tidak menghasilkan proletar murni. Yang terjadi, kapitalisme pertanian ini menghasilkan susunan sosial masyarakat paling banyak merupakan kaum tani yang melarat.

Sudah begitu, kolonialisme Belanda tidak menghasilkan konsentrasi dan pemusatan industri modern di kota-kota. Akibatnya, kota di Indonesia tidak tumbuh sebagaimana layaknya kota-kota di Eropa. Hingga awal abad ke-20, mayoritas rakyat Indonesia, yakni 70-80%, masih tinggal di daerah pedesaan.

Ini berbeda dengan di eropa. Eropa benar-benar terindustrialisasi. Terjadi konsentrasi dan pemusatan produksi di kota-kota. Ini menghasilkan kaum proletar 100% (murni). Bahkan, klas proletar tumbuh menjadi bagian terbesar di dalam masyarakat.

Sudah begitu, kata Bung Karno, hasil produksi onderneming itu dijual di eropa. Akibatnya: ini uang bekerja di Indonesia, menggaruk kekayaan alam Indonesia, dibawa ke negeri Belanda untuk dijual di eropa, mendapat untung di eropa, untung itu dibawa lagi ke Indonesia, ditanam lagi Indonesia, menggaruk kekayaan alam Indonesia..dan seterusnya.

Karena kapital Belanda itu orientasinya ekspor alias bergantung pada pasar eropa, maka politik kolonial Belanda di Indonesia tak berkepentingan untuk meningkatkan daya beli rakyat Indonesia. Karena itu, tidak pula berkepentingan meningkatkan pengetahuan rakyat Indonesia.

Ini berbeda sekali dengan kolonialisme Inggris di India, misalnya. Kapitalisme inggris, kata Bung Karno, lebih banyak ke perdagangan dan pengambilan bahan baku. Imperialisme dagang ini memerlukan pasar. Maka, imperialisme Inggris di India berkepentingan untuk tidak membunuh daya beli rakyat India. Imperialisme Inggris juga membiarkan berdirinya sekolah-sekolah dan Universitas. Lahirlah nama besar: Tilak, Mahatma Gandhi, Das, Tagore, Dr. C. Bose dan Dr. Naye.

Kepeloporan Klas Proletar

Bagi saya, pengidentifikasian marhaen dalam susunan masyarakat Indonesia tak lebih dari upaya Bung Karno untuk menarik mayoritas rakyat Indonesia untuk terjun dalam perjuangan anti-kolonial dan menuju sosialisme.

Proyek ini, bagi saya, sama saja ketika Mao Tse Tung di Tiongkok melihat arti penting atau signifikansi kaum tani. Atau, sekarang ini, kaum kiri Amerika Latin melihat signifikansi dari apa yang disebut “masyarakat asli/pribumi” (indigenous peoples).

Di sini, Bung Karno menjawab problem kekhususan masyarakat Indonesia. Ia menggunakan analisa klas—tentu saja dari analisa Marxisme—dengan menerapkannya dalam konteks Indonesia. jadi, Soekarno tidak dogmatis.

Meski begitu, dalam proyek sosialismenya, Soekarno tetap mempercayakan klas proletar sebagai klas pelopor. Ini sangat gamblang pada penjelasannya sebagai berikut:

kaum Proletar sebagai klas adalah hasil langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal akan pabrik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme, kenal akan kemodernannya abad keduapuluh. Mereka ada pula lebih langsung menggenggam mati hidupnya kapitalisme di dalam mereka punya tangan, lebih direct (langsung, ed.) mempunyai gevechtswaarde anti kapitalisme. Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang di dalam perjuangan anti kapitalisme dan imperialisme itu berjalan di muka, jika mereka yang menjadi pandu, jika mereka yang menjadi “voorlooper”, -jika mereka yang menjadi “pelopor”.

Bung Karno sendiri mengakui keterbelakangan kaum tani. Kita juga bisa melihat penjelasan Bung Karno soal kaum tani sebagai berikut:

mereka punya pergaulan hidup adalah pergaulan hidup “kuno”. Mereka punya cara produksi adalah cara produksi dari jaman Medang Kamulan dan Majapahit, mereka punya beluku adalah belukunya Kawulo seribu lima ratus tahun yang lalu, mereka punya garu adalah sama tuanya dengan nama garu sendiri, mereka punya cara menanam padi, cara hidup, pertukar-tukaran hasil, pembahagian tanah, pendek seluruh kehidupan sosial ekonominya adalah masih berwarna kuno, -mereka punya ideologi pasti berwarna kuno pula!

Tetapi, sekalipun begitu, Soekarno tidak mengabaikan peranan petani. Ia justru melihat signifikansi kaum tani melarat ini, bersama dengan pemilik produksi kecil melarat lainnya, sebagai kekuatan besar dalam revolusi. Sekalipun pimpinan revolusi diletakkan di pundak kaum proletar.

Karena itu, Bung Karno menyadari, perjuangan kaum marhaen di Indonesia tidak akan berjalan sukses kalau tidak menghimpun kaum buruh. Soekarno mengatakan, “pergerakan kaum Marhaen tidak akan menang, jika tidak sebagai bagian daripada pergerakan Marhaen itu diadakan barisan “buruh dan sekerja” yang kokoh dan berani.”

Bagaimana dengan sekarang?

Perkembangan kapitalisme di Indonesia, seperti juga di negara-negara dunia ketiga lainnya, tidak mengarah pada “negara industri modern”. Yang terjadi, neoliberalisme justru menciptakan fenomena “deindustrialisasi”.

Di akhir kekuasaan orde baru, struktur industri kita menghasilkan kenyataan berikut: pabrik-pabrik yang mempekerjakan 500 orang atau lebih hanya menyerap sepertiga dari total tenaga kerja. Sedangkan dua pertiganya bekerja di industri-industri skala menengah (20-99 pekerja), skala kecil (5-19 pekerja), dan rumah tangga (1-4 pekerja).

Juga, kalau kita melihat data BPS, jumlah keseluruhan unit usaha di Indonesia mencapai 51,262 juta. Dari total unit usaha tersebut, terdapat 50,697 atau 98,9% adalah usaha mikro, 520.221 usaha kecil (1,01%), 39.657 usaha menengah (0,08%) dan hanya 4.463 usaha berskala besar (0,01%). Artinya, 99,99% usaha di Indonesia itu masuk dalam kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Tidak bisa dipungkiri, perkembangan kapitalisme di Indonesia meningkatkan apa yang disebut sektor informal. Statistik resmi menyebut angka pekerja sektor informal di Indonesia mencapai 70%.

Kategori sektor informal adalah pedagang kaki lima, perdagangan kecil, perajin kecil, dan pertanian dalam skala kecil. Ini meliputi keseluruhan sektor perdagangan mikro (asongan, PKL, calo, dll), Industri pengolahan mikro (industri rumah tangga, kerajinan, dan lain-lain), dan pertanian mikro (petani menengah, miskin, dan gurem).

Artinya, mayoritas rakyat Indonesia sekarang ini sebetulnya adalah pemilik produksi kecil. Dan, sebagian besar mereka itu, menurut saya, adalah orang-orang yang membuka usaha sekedar untuk survive atau bertahan hidup dari gempuran neoliberal.

Dengan demikian, istilah marhaen Bung Karno masih relevan untuk sekarang. Ia masih ampuh sebagai alat analis klas terhadap susunan sosial masyarakat di Indonesia. Ia juga masih efektif sebagai teori politik dalam kerangka menarik partisipasi mayoritas rakyat Indonesia ini, yakni kaum melarat, dalam tugas-tugas revolusi di Indonesia.

Kusno, Kader Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Soekarno
   

Bung Karno: Pancasila Adalah Kiri!

Soekarno & Che Guevara

Setelah peristiwa G.30/S, orang-orang kiri mulai dikejar-kejar. Banyak yang ditangkap, dipenjara tanpa pengadilan, dan dibunuh. Segala yang berbau kiri mulai dilarang.

Saat itu, November 1965, pamor kekuasaan Bung Karno sudah menurun. Beberapa kali himbauannya, agar semua kelompok menahan diri dan tidak terprovokasi, tidak dihiraukan. “Ucapan di mulut katanya taat, tetapi di dalam perbuatannya saya merasa oleh mereka itu dikentukin sama sekali,” keluhnya.

Ironisnya, mereka yang anti-kiri ini mengklaim diri sebagai “penyelamat Pancasila”. Revolusi Indonesia, yang susah payah diperjuangkan sejak Agustus 1945, makin bergeser ke kanan. Pancasila pun hendak diselewengkan menjadi kanan.

Tanggal 6 November 1965, saat sidang paripurna Kabinet Dwikora, di Istana Bogor, Bung Karno marah besar atas upaya menyelewengkan Pancasila menjadi kanan itu. Dengan tegas Bung Karno menyatakan, “Pancasila adalah Kiri.”

Tentu ada alasannya Bung Karno menyebut Pancasila itu kiri. Namun, sebelum kita membahas hal itu, kita periksa dulu defenisi kiri menurut Bung Karno.

Bagi Bung Karno, kiri tidak hanya anti-imperialisme. Tapi, katanya, kiri itu adalah anti segala bentuk eksploitasi (uit-buiting). Menurutnya, kiri adalah menghendaki suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada lagi exploitation de I’homme par I’homme—penghisapan manusia atas manusia.

Pendek kata, Bung Karno mendefenisikan kiri sebagai sikap politik yang menentang segala bentuk penghisapan dan penindasan. Politik kiri menentang penghisapan manusia atas manusia dan penghisapan bangsa atas bangsa. Dengan demikian, politik kiri mestilah anti-kapitalisme, anti-otoritarianisme, dan anti-imperialisme.

Lantas, apa alasannya bung Karno menyebut Pancasila itu kiri?

Bung Karno mengatakan, unsur utama Pancasila adalah keadilan sosial. Selain itu, Pancasila juga anti-kapitalisme. Pancasila juga menentang exploitation de nation par nation. “Karena itulah Pancasila kiri,” tegas Bung Karno.

Sekarang, kita mengarah ke pertanyaan lebih lanjut: benarkan Pancasila menentang kapitalisme?

Mari kita periksa pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian dikenal sebagai Hari Lahir Pancasila.

Dalam pidato 1 Juni 1945 itu, Bung Karno mengajukan 5 prinsip, yakni
(1) Kebangsaan Indonesia
(2) Internasionalisme atau perikemanusiaan
(3) Mufakat atau demokrasi
(4) Kesejahteraan sosial
(5) Ketuhanan yang Maha Esa.

Menurut Bung Karno, lima prinsip itu—yang kemudian dinamainya Panca Sila—bisa diperas menjadi tiga prinsip atau tiga sila, yaitu sosio-nasionalisme (penggabungan dari kebangsaan dan internasionalisme), sosio-demokrasi (penggabungan dari demokrasi dengan kesejahteraan sosial), dan Ketuhanan.

Inilah yang patut diulas. Dalam artikelnya berjudul “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi,” yang dimuat di Fikiran Ra’jat tahun 1932, Bung Karno mendefenisikan sosio-nasionalisme sebagai nasionalisme massa-rakyat, yaitu nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat.

Sosio-nasionalisme, menurut Bung Karno, akan menjadi menghilangkan kepincangan di dalam masyarakat, sehingga tidak ada lagi penindasan, tidak ada lagi kaum yang celaka, dan tidak ada lagi kaum yang papa-sengsara. Karena itu, Bung Karno menegaskan, sosio-nasionalisme menolak borjuisme (kapitalisme) yang menjadi penyebab kepincangan di dalam masyarakat itu.

Bung Karno sadar, Indonesia merdeka bukanlah jaminan rakyat Indonesia akan terbebas dari eksploitasi. Terlebih, jika Indonesia sudah merdeka, masih ada kelompok “kapitalis bangsa sendiri” dan kaum ningrat yang berkeinginan menjadi “penindas baru”.

Makanya, ia selalu berpesan, “dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.”

Karena itu, Bung Karno selalu mengingatkan bahwa Indonesia merdeka hanyalah “jembatan emas”. Frase “jembatan emas” ini menyiratkan kemerdekaan hanyalah “fase prasyarat” atau “tahapan” menuju tujuan yang lebih tinggi.

Proses pemerdekaan hanyalah upaya penciptaan gedung bernama “Indonesia Merdeka”, yang di dalamnya tidak ada lagi penindasan dari eksternal, yakni kolonialisme, tetapi di dalamnya ada perjuangan menghapuskan imperialisme dan kapitalisme. Sebab, syarat memujudkan masyarakat adil dan makmur adalah penghapusan imperialisme dan kapitalisme.

Supaya perjuangan menghapus kapitalisme dan imperialisme di dalam Indonesia merdeka itu bisa berjalan sukses, Bung Karno mengharuskan agar kekuasaan politik (politieke macht) ada di tangan kaum tertindas, yakni kaum buruh dan marhaen.

Nah, inilah esensi sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi secara harfiah berarti demokrasi massa-rakyat. Esensi lain dari sosio-demokrasi adalah pengawinan demokrasi ekonomi dan demokrasi politik. Atau, sederhananya, sosio-demokrasi berbicara soal kekuasaan ekonomi-politik di tangan rakyat.

Sosio-demokrasi ini adalah antitesa dari demokrasi borjuis di barat, yang hanya memberikan kesetaraan di bidang politik tetapi memelihara ketidaksetaraan di bidang ekonomi. Akibatnya, kendati secara politik orang diakui sama, tetapi secara ekonomi mereka terbelah antara pemilik alat produksi dan klas pekerja. Pada prakteknya, menurut Soekarno, karena alat produksi di kuasai oleh kaum borjus, maka kekuasaan politik atau parlemen pun dikuasai oleh kaum borjuis.

Konsep sosio-demokrasi mengisyaratkan dua hal pokok: pertama, kekuasaan politik di tangan rakyat. Kedua, demokrasi ekonomi atau pemilikan alat produksi di tangan rakyat. Dengan demikian, sosio-demokrasi sangat anti-kapitalisme.

Dengan demikian, Pancasila—yang didalamnya tertancap kuat sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi—memang sangat anti-kapitalisme dan segala bentuk ekspolitasi lainnya yang merendahkan nilai-nilai perikemanusiaan.

Selain itu, dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno mengatakan, “jika yang lima saya peras menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong-Royong.”

Menurutnya, negara Indonesia yang didirikan haruslah negara yang gotong-royong, yaitu pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat semua, keringat semua buat semua.

Artinya jelas: semua bekerja bersama-sama, membanting tulang bersama-sama, dan hasilnya untuk bersama-sama. Itu kan hampir sama dengan prinsip sosialisme Indonesia: sama rasa, sama rata. Artinya jelas: Pancasila itu anti segala bentuk penghisapan dan penindasan. Ya, Pancasila memang kiri!

Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar negara atau “Weltanschauung” (pandangan hidup) bermakna memastikan perjalanan bangsa Indonesia tetap di jalur kiri, yakni anti-penghisapan dan penindasan. Proses penyelenggaraan negara harus berdasarkan Pancasila. Artinya, semua produk kebijakan negara harus bersifat anti-eksploitasi dan penghisapan.

Artinya, kalau ada organisasi atau lembaga negara yang melarang pemikiran atau organisasi kiri menggunakan Pancasila, berarti mereka telah menyelewengkan Pancasila yang dipidatokan oleh Bung Karno tanggal 1 Juni 1945.

Timur Subangun, Kontributor Berdikari Online


Sumber :  Berdikari Online